Kekerasan seksual merupakan sebuah peristiwa pahit yang bisa membekas seumur di benak mereka yang pernah mengalami kejadian ini. Keadaan semakin rumit di saat para penyintas malah disalahkan ketika berusaha untuk mencari perlindungan dan keadilan. Kasus-kasus tersebut telah menggerakkan para aktivis sosial untuk mengadakan sebuah pagelaran seni, sekaligus wadah untuk para penyintas kekerasan dan pelecehan seksual yang bertajuk House of the Unsilenced.
Bertempat di Cemara 6 Galeri-Museum, Menteng, Jakarta Pusat, yang secara resmi telah dibuka pada pekan lalu (15/8) pameran yang diselenggarakan oleh InterSastra dan Koalisi Seni Indonesia ini menyuguhkan beragam karya dari belasan seniman yang berkolaborasi dengan para penyintas kekerasan seksual. Acara yang mengusung tema seputar “apa artinya angkat bicara” dan “seperti apa kehidupan penyintas di masyarakat kita” ini akan terus berlangsung mulai 15 Agustus – 2 September 2018 mendatang.
Beberapa seniman yang berkolaborasi dengan para penyintas adalah Randu Rini, Tarlen Handayani, Margaret Agusta, Eliza Vitri Handayani, Yacko, Farul Piliang, Ario Kiswinar Teguh, Salima Hakim, Ningrum Syaukat, Bisik-bisik Kembang Goyang, Ratu Saraswati, Dyantini Adeline, Rani Pramesti, Dewi Candraningrum, dan Molly Crabapple.
Nah, sebelum mengunjungi pamerannya, ada beberapa hal yang perlu kamu tahu mengenai program ini. Simak di bawah ini, yuk!
1. Berbicara dan mengekspresikan pengalaman melalui karya seni
Ajang seni House of the Unsilenced menyadarkan kita bahwa melalui medium seni kita bisa memproses dan memaknai kembali segala pengalaman dan pengamatan kita, termasuk hal-hal yang sulit kita bicarakan kepada orang lain, girls. Eliza Vitri Handayani, selaku penggagas dan pengarah House of the Unsilenced, mengatakan bahwa penyintas dari latar belakang apapun bisa bergabung dalam wadah ini.
Dengan menawarkan bermacam medium seperti menulis, membuat kolase, merajut, melukis, menggambar, bahkan bernyanyi, karya yang dihasilkan bervariasi sesuai dengan pengalaman penyintas yang tentunya juga berbeda-beda. Maka dari itu, Eliza mengajak orang-orang yang pernah mengalami kekerasan dan pelecehan seksual yang masih takut berbicara untuk bergabung. Baginya, yang bisa membuka mata masyarakat hanyalah orang-orang yang sudah mengalami dan juga melaluinya secara langsung
2. Seni menyadarkan masyarakat untuk tidak menyalahkan korban
Memamerkan karya seni yang dibuat langsung oleh para penyintas kekerasan seksual diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat yang acapkali memberi stigma dan sanksi berat kepada para penyintas.
Coba kamu bayangkan; hanya dengan berkomentar, “Gara-gara bajumu begini…” atau “Salah sendiri kenapa berperilaku begitu…” mereka yang pernah mengalami pelecehan seksual akan langsung merasa bersalah dan merasa tidak didukung. Hal itu bisa menimbulkan trauma dan ketidakpercayaan kepada orang lain. Kamu mungkin masih ingat kejadian yang pernah dialami penyanyi dangdut Via Vallen. Ketika ia mengunggah pesan berisi pelecehan seksual secara tulisan di akun Instagram-nya, bukannya mendapat dukungan, Via malah mendapat banyak cibiran yang bahkan dari sesama perempuan.
Nah, dari sekian banyak kasus sexual harrasment yang beredar, biasanya perbuatan keji pelaku malah sering dimaklumi, lho. Nggak heran jika banyak penyintas yang malah merasa takut untuk memberikan kesaksiannya, karena nggak mau disalahkan pada akhirnya. Semestinya, kita justru memberi kekuatan kepada mereka dengan mendukungnya untuk berbicara dan menjamin keamanannya, girls!
3. Berkesenian membuat para penyintas lebih percaya diri
Dalam kesempatan itu, Eliza juga memaparkan bahwa proses penciptaan karya atau berkesenian juga bisa membuat para penyintas lebih percaya diri sebagai manusia. Mereka akan merasa dirinya mampu berdaya, sekaligus berani berekspresi meskipun harus kembali mengingat masa kelam dan kenangan terburuk dalam hidupnya. Bagaimanapun, ekspresi para penyintas juga dibutuhkan untuk mengubah sikap-sikap dominan di masyarakat yang dianggap normal selama ini.
“Rumah ini hidup dengan suara-suara kami yang menolak bungkam, siapkah kalian mendengarkan?” – Eliza Vitri Handayani
4. Karya penyintas dan seniman bisa membuka perspektif baru
Pameran House of the Unsilenced diharapkan dapat membuat siapapun yang berkunjung bisa memiliki perspektif baru dalam menginformasikan atau memberitakan kasus kekerasan seksual dengan tidak hanya menceritakan peristiwanya saja, tetapi juga berani mengungkap berbagai masalah di sekitarnya.
Para kawan media juga diminta untuk tidak melulu membuat berita kekerasan seksual dengan framing yang malah memberatkan para penyintas. Hampir setiap hari masyarakat terpapar informasi yang dengan cepatnya bisa didapatkan di internet. Jika perspektif media yang digunakan dapat merugikan para penyintas, maka perilaku masyarakat akan terpengaruh dengan idealisme itu secara tidak disadari.
5. Terinspirasi gerakan #MeToo dan menginspirasi penyintas untuk berani bicara
Adanya kampanye #MeToo di dunia internasional yang mengungkapkan bahwa betapa banyaknya penyintas kekerasan dan pelecehan seksual yang mayoritasnya perempuan, menginspirasi lahirnya House of the Unsilenced.
Kampanye tersebut berawal ketika aktris Alyssa Milano mengunggah sebuah pesan di Twitter pada Oktober 2017 lalu. Dalam cuitannya, Milano berkata, “Jika kamu telah dilecehkan secara seksual atau diserang, tulis ‘Me too’ sebagai balasan atas cuitan ini, kita mungkin bisa memberi gambaran kepada orang banyak tentang betapa besar masalah ini.” Setelah cuitan itu beredar, banyak perempuan dan beberapa pria ikut membagikan cerita mereka di media sosial dengan hashtag #MeToo. Ekspresi para korban ini bisa menjadi contoh untuk mereka yang masih takut dan bungkam.
Sudah saatnya kita lebih bijak dan proaktif dalam menyikapi kasus pelecehan seksual, agar tidak ada lagi orang yang harus mengalami kejadian ini. Dukungan dan bantuan secara moral merupakan usaha paling minimal yang bisa kita lakukan untuk membantu para penyintas dalam mencari keadilan.