Dewasa ini, merasa cukup adalah sebuah kemewahan di tengah-tengah kemunculan produk dan teknologi baru yang tiada hentinya. Sebagai manusia, tentu sebuah kewajaran bagi kita untuk ikut berpartisipasi merayakan perubahan dunia, sehingga seringkali kita lupa bahwa semua hal tersebut sudah kita miliki, sudah bertengger manis di rak atau tersimpan rapi dalam lemari. Cukup, sebuah kata yang sangat berarti bagi seorang minimalis seperti Cynthia Lestari. Kata yang mengubah hidup serta pandangannya hingga saat ini.
Berawal dari tiga, empat tahun lalu, di mana Cynthia merasakan masalah datang bertubi-tubi, tiada henti, membuatnya merasa berada pada titik quarter life crisis. Masalah keluarga, finansial, teman, datang silih berganti.
“Aku sudah coba beberapa solusi, mulai dari cerita ke banyak orang, hingga beribadah, namun semua solusi itu jatuhnya hanya toxic positivity dan aku tetap merasa kalut.”
Hingga suatu waktu, Cynthia mulai dengan membereskan barang-barang pribadi yang ada di dalam kamarnya. Dibantu dengan teman satu kos, Cynthia mulai mengeluarkan dan memilah barang-barang tersebut, mayoritas tentu beauty product, ada lagi pakaian. Ada yang dijual, ada yang diberikan pada teman, ada juga yang dibuang jika sudah habis dan rusak. Ajaibnya, Cynthia merasa tenang dan khusuk. “Dari sini aku mulai mencari tahu korelasi antara beres-beres dan ketenangan jiwa, dan aku mulai berkenalan dengan declutter, yang menjadi bagian dari minimalism. Sejak itu lah aku mulai jatuh cinta dan menjadikan minimalis adalah gaya hidup yang sesuai dengan nilai aku.”
Setelahnya, Cynthia merasa bahwa Ia perlu sebuah jurnal untuk memantau perjalanannya dengan minimalis dan dipilihnya membuat sebuah akun media sosial baru bernama Lyfe with Less. Lucunya, akun ini awalnya bukan sebuah komunitas, namun ternyata di luar sana, banyak juga yang senasib dengan Cynthia, sehingga mencari sebuah safe space bersama yang akhirnya terhubung dengan Lyfe with Less (LwL). “Senang juga melihat ada banyak orang yang memiliki pengalaman sama sepertiku, sehingga memutuskan bergabung dan berproses bersama melalui Lyfe With Less.”
Belum lama ini, tren gaya hidup minimalis memang tengah digandrungi oleh banyak orang. Namun, masih juga yang menilai minimalis adalah gaya hidup yang terlalu ekstrem. Dengan menjadi minimalis, maka orang tersebut tidak boleh beli barang baru, atau warna yang melekat hanya hitam, putih, abu-abu. Padahal tidak demikian.
“Buatku, minimalis itu punya makna sebagai seni untuk merayakan ‘cukup’. Bahagia dengan yang sudah ada dan sadar dengan apa yang dimiliki. Bukan tentang jumlah, apalagi warna. Lebih sebagai mindset.”
Pandemi boleh jadi mengubah cara pandang masyarakat tentang minimalis, bagaimana kini mereka dengan sangat hati-hati meminimalisasi konsumsi terhadap apapun. Tidak terbatas hanya membatasi konsumsi makanan, tetapi juga belanja, bahkan konsumsi terhadap informasi. Masyarakat jadi lebih sadar dengan apa yang sudah dipunya. Apa bedanya minimalis dengan gaya hidup yang lainnya, zero waste misalnya?
“Mereka mirip, tapi sebenarnya berbeda. Kalau zero waste artinya berkesadaran untuk lingkungan, sementara minimalis belum tentu goal-nya untuk lingkungan, bisa untuk diri sendiri, misalnya untuk tujuan finansial. Berbeda tergantung masing-masing.”
Perjalanan menjadi minimalis juga tidak selamanya mulus, konsisten adalah kunci. Cynthia tidak menampik bahwa dirinya masih sering kepo dengan iklan produk baru atau influencer. Namun menjadi minimalis membantunya untuk memberi lapisan proteksi sebelum membeli barang baru. “Secara tidak sadar, minimalis membantuku untuk memberi layer, berpikir berkali-kali sebelum check out di e-commerce.” Selain konsisten, memiliki kriteria spesifik juga sangat membantu perjalanan menjadi minimalis. Cynthia mencontohkan, misalnya Ia merasa keren dengan menggunakan produk lokal atau merasa memiliki value lebih dengan memiliki produk-produk yang berimplikasi baik untuk sosial dan lingkungan. Sehingga, ketika ada iklan produk baru yang tidak sesuai dengan kriteria spesifik yang sudah dibuat, otomatis produk tidak akan dibeli.
Jika berminat untuk menjadi minimalis, sebenarnya tidak ada kriteria khusus, malah terbilang mudah. Cynthia menilai, sudah cukup banyak miskonsepsi terkait menjadi minimalis, terutama yang mengira bahwa memulai sesuatu harus dengan barang baru. Padahal, memulai jadi minimalis itu bisa dari yang sudah ada di dalam rumah.
“Minimalis itu gaya hidup yang murah, kalian bisa #MulaiDariYangAda, bukan malah beli baru.”
#BelajarJadiMinimalis itu juga nggak bisa dipaksakan, tapi harus datang dari hati. Karena kalau dipaksakan, yang ada malah memperparah miskonsepsi tadi. Cari tahu dulu minimalis itu apa, kalau cocok dengan prinsip, silakan adaptasi. Setelahnya mulai dengan decluttering – pilah dan singkirkan barang yang ada di sekitarmu. Jangan lupa untuk #PakaiSampaiHabis dan #BijakBerkonsumsi. “Semua harus dimulai dengan kesadaran sendiri, bukan karena ikut-ikutan, kalau tidak sesuai dengan value, tidak perlu dipaksakan. Siapa tahu kalian lebih cocok dengan gaya hidup yang lain.”