Menjadi Anak Muda yang Nggak Takut untuk Bersuara

Era digital yang mendorong semakin lebarnya keran informasi, membuat hal-hal yang selama ini dianggap tabu, menjadi hal yang lumrah dan biasa. Termasuk juga ketika kita berbicara tentang politik. Selama ini, isu tersebut selalu dikategorikan isu elit, yang mana hanya orang-orang tua, yang berpengalaman, yang datang dari latar belakang politik, yang bebas berbicara dan membahas isu tersebut. Namun pergeseran semakin terlihat ketika anak-anak muda semakin sering turun ke jalan untuk berdemonstrasi dan ikut menyuarakan pendapat melalui media sosial.

Abigail Limuria (@abigailimuria)

Di dalam golongan  anak muda ini, ada kelompok yang menurut Abigail Limuria dan Faye Simanjuntak belum terjamah untuk berpartisipasi dalam sosial politik Indonesia, yaitu anak-anak muda Indonesia internasional – mereka yang berkuliah atau bekerja di luar negeri. “Sebal dan gregetan karena kelompok ini selalu ribut dan peduli banget dengan kondisi sosial politik internasional, tapi cuek tentang isu sosial politik dalam negeri Indonesia.”

Atas dasar keprihatinan tersebut, Abigail yang sebelumnya menulis Lalita Project dengan Grace Kadiman, ikut serta dengan Faye Simanjuntak – founder Rumah Faye, membentuk sebuah komunitas yang bernama What Is Up Indonesia atau WIUI.

“Ada beberapa asumsi dari kami mengapa mereka sampai cuek, karena kendala bahasa, pembahasan yang terlalu rumit dan berbelit, dan media Indonesia yang kurang bisa membahas secara menyeluruh. Makanya seluruh konten WIUI kami buat dengan bahasa Inggris, dengan tujuan anak-anak muda ini merasa ‘dilibatkan’.”

Salah satu konten dari What Is Up Indonesia, mengenai Omnibus Law (@whatisupindonesia)

Dalam perjalanan WIUI, tentu tidak semudah menerjemahkan informasi dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Abigail juga perlu membaca keseluruhan isi berita, mencari dari berbagai sumber. Apalagi kalau konten tersebut berkaitan dengan undang-undang, maka Abigail juga wajib untuk mempelajari undang-undang dan lembaga terkait sebelum akhirnya diterjemahkan. Tentu saja mereka pernah salah, salah menerjemahkan, salah tulis, salah memberi info. Namun dari hal tersebut mereka belajar untuk lebih baik lagi. “Lama-lama makin biasa dan makin bisa.”

Selain itu mereka harus pintar membagi waktu dan peran, karena Abigail masih full time untuk proyek Lalita dan Faye sendiri masih duduk di bangku kuliah dan mengelola Rumah Faye. Ada beberapa kondisi yang menuntut mereka harus fokus mengerjakan konten WIUI, misalnya ketika terkait isu-isu sensitif. Di luar itu, bagi Abigail, mengerjakan WIUI memberi banyak perspektif baru. “Hal menarik selama mengerjakan WIUI ini adalah aku dan Faye sadar bahwa tidak ada satu pun headline berita yang berdiri sendiri. Kita nggak bisa mencerna berita hanya dari satu kejadian. Semua hal saling terkait, sejarah, kultur, dan hukum. Seru dan menarik, walau kompleks!”

Hal ini juga yang menyadarkan Abigail, bahwa kondisi perempuan Indonesia masih menghadapi tantangan yang berlarut-larut. Menurut Abigail, mengutip dari Komnas Perempuan, perempuan Indonesia masih menghadapi banyak sekali diskriminasi struktural dari peraturan, hukum, dan norma. Bahkan, masih ada sekitar 300 peraturan daerah yang diskriminatif dan membatasi ruang gerak perempuan! Abigail mencontohkan kasus di mana perempuan yang hendak masuk ke militer masih diwajibkan untuk ikut tes keperawanan. “Itu baru mengenai hukum, belum lagi masalah kultur dan norma. Kalau di kota besar, sudah mulai ada perubahan, tapi daerah? Masih ada perkawinan anak, permasalahan perdagangan perempuan, pelecehan seksual, dan pemerkosaan.”

(@whatisupindonesia)
(@whatisupindonesia)

Tantangan ini semakin berat dengan masalah kebebasan berpendapat yang justru semakin terancam. Bagi Abigail, kebebasan berpendapat adalah pondasi dari demokrasi dan hanya dengan kebebasan berpendapat kita bisa menuju sistem, peraturan, dan negara demokrasi yang semakin baik.

“Ketika kita semua bisa saling berdialog, berdebat, dan mengasah pendapat tanpa takut, di situ kebenaran & progres bisa tumbuh subur.”

Sayangnya, menurut survei Komnas HAM & Lembaga Indikator Politik Indonesia menunjukan bahwa mayoritas masyarakat masih takut untuk memberi pendapat, apalagi kritik. Kasus UU ITE pun melonjak drastis di tahun 2018-2020.

Untuk penyelesaian kasus kebebasan berpendapat, hanya bisa dimulai dari undang-undang. Harus ada undang-undang yang melindungi kebebasan berpendapat & pasal-pasal karet yang bisa mengkriminalisasi harus diperbaiki. Sehingga ke depannya, diskursus publik mengenai kondisi sosial politik Indonesia bisa menjadi lebih dewasa dan nggak mentok hanya di satu tempat.

Abigail berharap, WIUI dapat menjadi wadah yang sesuai dengan nilai kebebasan berpendapat, mendorong anak-anak Indonesia internasional ini untuk percaya, bahwa suara mereka memiliki nilai sangat penting untuk perubahan. “Sehingga mereka semakin merasa terkoneksi dengan negaranya dan nggak merasa Indonesia hanya ‘status negara dalam paspor’.”

Rimma

One-stop destination for everything girls need to know ? Follow Instagram @rimma.ig for more cool updates!

No Comments Yet

Comments are closed